Kamis, 22 Januari 2015

Cinta ini Membunuhku .... naudzubillah

Mengenang cinta berujung maut Ade Sara Angelina Suroto 

Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado, Taufik Pasiak.

Pada manusia, cinta tak lagi sekadar rasa memiliki.  Cinta pada manusia memiliki sentuhan rasional yang digerakkan korteks prefrontal di otak bagian depan.

Cinta itu muncul sebagai dorongan untuk melstarikan sesuatu atas dasar ketertarikan emosional.  CInta yang datang akan selalu diikuti rasa memiliki serta hasrat menjaga dan melindungi.  Jika rangkaian rasa itu terganggu, muncul pertahanan diri untuk melindungi apa yang dimiliki.

Konsekuensinya, cinta pada manusia akan disertai pemikiran bahwa yang dimiliki itu bisa hilang.  Sikap itu hanya bisa diicapai jika seseorang mampu menjaga jarak dengan yang dicintainya karena yang ia cintai bukan dirinya.  Cinta sejati dan bernilai tinggi adalah cinta yang siap kehilangan.

Namun, kesadaran itu kerap tak muncul pada remaja.  Mereka yang baru mengenal romantika belum mampu menjaga jarak dengan yang dicintainya.

Ketidaksiapan remaja menghadapi hilangnya yang ia cintai membuat asmara remaja kerap diwarnai tragedi.  Putus pacaran yang sebenarnya soal biasa berubah jadi drama yang menguras emosi.  padahal, putus adalah konsekuensi logis dari pacaran.

Pacaran adalah tahap saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, mengenali perilaku diri dan pola relasi dengan pasangan, serta mengevlaluasi hubungan yang dijalin, akan diteruskan hingga pernikahan atau tidak.  Putus berarti ada kesadaran atas ketakcocokan antara dua individu.

Sedih saat putus cinta adalah respons sehat.  Namun, harus dijaga agar kesedian itu tak berkepanjangan sehingga bisa segera mengambil pembelajaran atas hal yang sudah terjadi dan siap menatap langkah baru.

Masalahna, remaja dan orang dewasa awal berusia 18-22 tahun sering berpacaran dengan tujuan berbeda, mulai dari hanya ingin bersenag-senang, karena tekanan teman, demi kebanggaan diri, hingga ingin bereksperimen soal seks.  Agar pacaran sehat, tujuan pacaran harus diingat.

Pacaran sehat mirip persahabatan, saling berbagi emosi, tetapi ada ikatan ketertarikan dan rencana jangka panjang.  Karena itu, pacaran sehat bisa jadi media saling mengeksplorasii potensi diri dan pasangan.

Jika muncul sikap posesif, tuntutan, dan keharusan melakukan sesuatu atau pembatasan melakukan hal positif sebelum apcaran, itu gejala pacaran tak sehat.  Terlebih lagi jika terjadi kekerasanj, baik fisik, verbal, maupun emosional.

Selasa, 20 Januari 2015

Prof Serge Moscovici, Bapak Teori Representasi Sosial

Prof Serge Moscovici, sang bapak teori Representasi Sosial dan berbagai gagasan genius dalam psikologi, dengan 16 gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas dunia, meninggal pada 15 november 2014.

PRof Serge Moscovici merupakan akademi Ilmu Pengetahuan dan Seni Eropa ini dimakamkan di Montparnasse, Paris, peristirahatan akhir para tokoh di bidang sastra dan filsafat yang memberi sumbangan besar pada peradaban dan kemanusiaan, seperti Beckett, Beudelaire, Satre, Beauvoir, dan Proust.

Teori Representasi Sosial Moscovici menempatkan psikologi sosial sebagai wilayah strategis untuk memahami kompleksitas pengetahuan sosial yang mewujud pada perilaku.  Ia menolak prinsip pembentukan perilaku yang disempitkan pada skema Stimulus dan Respons.
Dasarnya adalah menolak gagasan Descartes memutlakkan pikiran individu sebagai dasar pengetahuan.

Perilaku adalah produk suatu representasi dan bersifat kompleks.  Kompleksitas itu dicerna menjadi suatu operasi  mental  yang tidak semata bermula dari stimulus nyata.  sebagai penggerak perilaku, stimulus bisa bersifat langsung dan tidak langsung, nyata atau tidak nyata, bahkan simbolik dan metafisik.

Dalam rangkuman itu terkandung identitas kultural yang terbangun dari tradisi, kebiasaan sosial, dan ingatan kolektif.
Daari situlah lahir pengertian tentang banyak hal dalam hidup yang bersifat empirik, filosofis, maupun produk kultural.  Seluruh pengetahuan tersebut oleh moscovici dikenali bersumber pada common sense yang memberi arah perilaku yang memungkinkan jejak keanggotaan individu pada suatu masyarakat tidak hilang.

Moscovici melanjutkan dan menyempurnakan gagasan Emile Durkheim tentang representasi.  Namun, ia menolak dualisme antara masyarakat dan indovidu yang memisahkan sosiologi dari prikologi dalam tradisi Durkheiminne.

Teori representasi sosial yang dikembangkan moscovici berupaya meretas sekat pemisah antara psikologi dan sosiologi, sekaligus antara individu dan masyarakat.  dengan alasan komprehensif yang mendasari gagasannya, Moscovici menolak peng-kastaan ilmu pengetahuan yang meletakkan pengetahuan ilmiah di atas pengetahuan lainnya.

Teori representasi sosial mengembalikan kemampuannya mengenali diri sebagai makhluk budaya.  dalam kebudayaan ada pengetahuan luar biasa yang mengatur hidup bersama, tetapi martabatnya diturunkan oleh pengetahuan lain yang kita peroleh dari dunia akademis maupun agamis.  kita kadang akhirnya selalu minder dengan pikiran kita sendiri.

Tulisan Moscovici dalam esai klasiknya, 'society and theory in social psychology (1972), kebenaran memang berbahaya dan penuh risiko.  psikologi sosial tak dapat mencapai gagasan sebenarnya dari ilmu pengetahuan, kecuali ia menjadi berbahaya

Beda Anglo Saxon, Eropa, dan Perancis tentang Terorisme

Richardson dalam What Terorists Want: Understanding the Enemy, Containing the Threat (2007) mengidentifikasikan tiga faktor:
1.  Individu yang termarjinalkan
2.  Kelompok yang memfasilitasi, dan
3.  Ideologi yang membenarkan.
ketiga faktor ini yang akan mendorong orang terlibat dalam tindak kekerasan.

Contoh kasus adalah teroris yang menembak secara keji di kantor majajalah Charlie Hebdo, yangmenewaskan 12 orang, januari 2015.
Menurut kepoisian Perancis, tersangka adalah bekas narapidana, tetapi gagal berintegrasi kembali ke dalam masyarakat sehingga ia menjadi bagian dari individu yang terpinggirkan.  Ia pun kemudian kembali ke haitat awalnya, yang tidak hanya memberikannya fasilitas sosial, tetapi juga identitas diri yang kuat sebagai bagian dari gerakan yang mempunyai misi agung membela agama.
Identifikasi diri terhadap sistem kepercayaan, tata nilai dan norma sebuah kelompok akan mempercepat proses radikalisasi seseorang.  Pada fase inilah kemudian ideologi berperan memberi penjelasan yang seaan  terang benderang terhadap kondis dunia yang semakin karut-marut serta pembenaran terhadap aksi kekerasan atas sebuah peristiwa yang mereka anggap salah.
Tampaklah bahwa proses radikalisasi itu mudah dijelaskan.  Namun, sulit ditentukan secara presisi kapan dan pada tahapan apa seseorang terlibat proses radikalisasi.  Sehingga menimbulkan perdebatan: apakah radikal itu hanya sebagatas pemikiran atau juga termasuk tindakan?

Asusmsi inilah yang juga membuat berbeda tataran kebijakan di dunia internasional dalam menyikapinya.

Amerika, Ingggris dan Australia (negara Anglo Saxon), mengadopsi bbehavior perspective (tindakan).
aplikasinya:  FBI di  amerika setiap hari memelototi ribuan laman dan jejaring sosial media yang mengadvokasi kekerasan, mendata dan mendatangi acara acara yang digelar kaum ekstremis.  SElama tidak melakukan aksi, FBI hanya mengawasi, memprofil dan mencoba mencari koneksi gerakan mereka dengan jaringan internasional yang ada.

Negara Eropa, seperti Jerman, tidak memberikan perbedaaan antara radikal di tataran pemikiran dan aksi.  Pemikiran yang dianggap ekstrem sudah cukup dianggap ancaman serius bagi demokrasi.  Mungkin sikap ini berdasarkan trauma masa lalu mereka menghadapi Nazi.

Perancis.  Negara ini sangat mendukung kebebasan berekspresi, seperti terbaca dari salah satu ungkapan filosof mereka, VOltaire (1786), "aku tidak setuju dengan apa yang kamu ungkapkan, tetapi aku akan membela sampai mati hakmu untuk mengungkapkannya." 
Dengan semangat kebebasan berekspresi yang meluap-luap itulah, dapat dipahami Perancis punya majalah kartun Charlie Hebdo yang berisi satir kepada semua kalangan.

Perancis, negara di Eropa Barat dengan penduduk muslim terbesar, sudah tentu sedikit banyak terpengaruh juga dengan konstelasi politik islam global.  Konflik yang terjadi di wilayah suriah dan irak menyeret tidak kurang dari 1000-an warga Perancis dari keturunan afrika utara, arab dan mualaf bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pimpinan Al Baghdadi.  Jarak yang dekat antara Perancis dan Turki, harga tiket pesawat yang murah, mudahnya akses internet, perkembangan sosial media dan gadget, serta susahnya mendapat pekerjaan bagi anak muda menjadi campuran yang mematikan, dan mendorong mereka menjadi radikal.

Pola radikal seperti itu juga terjadi di Indonesia ....

Senin, 19 Januari 2015

Kolom Agama

Tidak mudah menemukanmu di kolom agama
Bahkan di kolom itu kau belum tentu ada
Maka aku pergi menemuimu di sebuah kolom tersembunyi,
Kolom yang terlihat oleh negara
Kau memandangku dengan gentar
Mungkin kau mengira aku akan menanyakan agamamu

Joko Pinurbo, ultah ke 80 sekaligus peluncuran buku biografi Kardinal Julius Darmaatmadja SJ

Charlie Hebdo dan Voltaire

Satir, bagi redaksi Charlie Hebdo adalah suatu keniscayaan.  Satir yang disengaja untuk mengungkap kontradiksi yang hadir dalam masyarakat namun tidak pernah diungkap oleh lembaga biasa, baik itu pemerintah, lembaga pendidikan, pers berita dan lain lain.

Provokasi menjadi alat intelektual, moral, dan politik.  Charlie Hebdo, menembus batas tabu.  Tidak ada pihak yang tabu diserang, semua kena.  Tujuannya, mengkritik kekuasaan, menyerang sang borju, mengolok-olok mereka yang kelewat serius, mengempeskan kaum fanatik, membuka rahasia seksual tokoh moralis, dan satir yang lainnya.

Secara kultural masyarakat Perancis, sikap provokatif ini memang berdarah daging, dimana, secara historis, praktik kebebasan atau liberte identik dengan menantang segala larangan dan tabu.  Sejak Rabelais (1494-1553), dan terutama Voltaire (1694-1778), satir sarkastik senantiasa menjadi sarana untuk melepaskan diri dari kekangan ketat teokrasi (negara agama) Katolik dan melahirkan kesadaran baru serta kebebasan individual.  perjuangan panjang itu bermura pada Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara pada awal Revolusi Perancis (1789-1799) dan pada situasi kekinian, di mana kuasa agama dibatasi pada ruang privat dan tidak lagi ditentukan oleh negara.

Liberte itu kini berlaku mutlak, dengan sendirinnya delik pelecehan agama hilang relevansi.  Satir menjadi kultur, selama majalah satir bersikap merdeka, pintar dan lucu, ia dihormati oleh siapapun termasuk lawan ideologisnya.  begitulah logika liberte mutlak yang berlaku di perancis dan di barat pada umumnya dengan aneka varian.

Itu kemudian menjadi akar masalahnya.  nilai kebebasan (luhur) yang dibanggakan orang Perancis dan barat lainnya dan kemudian diupayakan disebarluaskan di seluruh dunia atas nama universalisme, akhirnya justru kerap dianggap tidak universal dan malahan dirasa sebagai ancaman, dan wajah baru imperialisme Barat.

Karikatur

Siapakah penemu atau yang pertama kali membuat karikatur?
Mungkin, penemunya adalah Leonardo da Vinci.  Seniman, penulis, ahli matematika, dan penemu yang hidup di zaman Renaisans ini lahir pada 15 April 1452, di Vinci, Italia.  dua diantara karyanya yang sangat kondang adalah "Mona Lisa" dan "The Last Supper".
Namun, benarkah?
Yang pasti, karikatur asal mulanya berasal dari bahasa Italia (caricatura, kata benda, dan kata kerjanya adalah caricare yang berarti memuat, memberati, melebih-lebihkan).  Akar kata tersebut dari bahasa Latin, carricare.  Menurut kamus Merriam-Webster baru digunakan dalam bahasa Inggris sejak tahun 1500-an.

Jika seseorang digambar secara karikatural, ia akan dieksploitasi ciri lahiriah sedemikian rupa untuk menghasilkan efek komik atau fantastis, aneh sekali.  Misalnya, Mick Jagger yang berbibir dower, dibuat lebih dower lagi.  Esensi dari karikatur adalah pernyataan atau penggambaran yang dilebih-lebihkan, tetapi distorsi, pemutarbalikan.  Ia menyarankan para karikaturis melebih-lebihkan demi kebenaran dan bukannya menyangkal kebenaran (ia = Lenn Redman, dalam bukunya, How To Draw Caricatures)

Menurut karikaturis GM Sudarta, penggambran wajah seseorang yang terkenal dengan cara melebih-lebihkan ciri lahiriahnya dengan tujuan untuk mengkritik, sekaligus mencerminkan perbuatannya.  bisa, misalnya, wajahnya dibuat seperti wajah binatang.

Sekalipun demikian, orang akan dengan mudah mengenali siapa tokoh yang digamar secara karikatural itu.  Awal tahun 1880 an, Charles Philipon yang sering disebut sebagai bapak  karikatur politik Perancis, menggambarkan kepala Raja Perancis Louis-Philippe seperti buah pir.  Gambaran in diterima publik sebagai simbol Louis-Philippe dan rezimnya.  Namun, sejak itu diterbitkan undang-undang yang membatasi kebeasan pers dan akibatnya karikatur politik dilarang.

Tragedi penembakan berujung tewasnya 12 orang jurnalis di charlie hebdo, Paris, PErancis awal tahun 2015 ini bisa menjadi pelajaran. 
Karikatur, bisa dikatakan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat, yang adalah batu sendi dari demokrasi.  Namun karikatur di charlie hebdo, itu apakah sama atau mungkin sangat berbeda dengan konsep jurnalisme, yakni "tidak melukai, mempermalukan, menghina, dan menghabisi pihak lain" meskipun tetap mengkritik secara tajam?.