Kamis, 24 Oktober 2013

Bugis - Makassar

James Brooke, petualang dari Inggris yang singgah ke sebuah acara resepsi di Istana Bone pada abad ke-19 menuliskan pengalamannya, "Saya disuguhi banyak jenis makanan ringan dan kue yang sangat enak, kopi yang rasanya senikmat kopi di Istanbul atau Paris, dan teh yang tidak kalah denagn teh di Kanton"

Makanan dan tradisi menghidangkan kue manis di acara makan besar merupakan salah satu ciri orang-orang Austronesia.  rasa manis terkait dengan konsep kuasa hegemoni.  Sehingga orang Bugis dari dulu selalu diwanti-wanti untuk membuat kue manis.  Kalau tidak manis dianggap pelit.  Ras manis kue juga bermakna harapan dan rasa syukur.

Kue-kue pesta sarat makna yang dibuat untuk acara-acara penting di Bugis-Makassar hampir semuanya dibuat dari beras.  Dalam konteks budaya Bugis-Makassar beras menduduki posisi sangat penting dan sangat dimuliakan karena dianggap titisan dewa.  Hal itu disebutkan dalam mitologi I La Galigo.

Syahdan, anak perempuan Batara Guru bernama We' Oddang Riu1 meninggal tidak lama setelah dilahirkan.  Beberapa hari kemudian ketika batara Guru berziarah ke makam itu, ia melihat di atas makam tumbuh berbagai jenis rumput aneh yang sebenarnya padi.  Belakangan, Datu Patotoqe memberi tahu bahwa We' Oddang Riuq telah diserahkan kepada manusia dalam bentuk Sangiang Serriq demi kelangsungan hidup manusia..  Meski itu hanya mitologi, kisah Sangiang Serriq berakar kuat dalam ubdaya Buigs-Makassar.  Dari bahan makanan yang mulia inilah, kue-kue ynag dianggap penting lahir.

Faktor lingkungan juga mememengaruhi corak makanan suatu komunitas masyaakat.  Sejak berabad-abad lalu, Sulawesi Selatan surplus beras.  Beras yang melimpah sebagian diekspor ke luar Sulawesi Selatan. 

Thomas Staverson dalam Letter from Makassar, 1618 mencatat,  dalam satu bulan orang Inggris membeli 450 ton beras dari Maros (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, 2011).  Hingga kini, Sulawesi Selatan masih surplus beras lebih dari 2 juta ton.  Sebanyak 500.000 ton beras diantaranya merupakan beras kelas premium yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Jpang, Filipina, Singapura dan Timor Leste..

Karena beras melimpah, tidak heran jika makanan berbahan beras juga melimpah.  Hal itu sejalan dengan dalil Penny Van Esterik yang meneybutkan makanan dan budaya makan suatu komunitas ditentukan oleh bahan makanan yang melimpah di alam.

Beberapa lontara menyebutkan, akar dari semua kue Bugis-Makassar adalah sokko atau songkolo yang semula dibuat untuk persembahan kepada dunia atas, tenah, dan bawah.  Jadi, Sokko memiliki dimensi riual.  Tidak mengherankan jika penguasa Bone, Arung Palakka, pernah bernazar akan membuat sokko setinggi gunung jika berhasil mengalahkan kerajaan Gowa.

Selanjutnya, sokko melahirkan turunan kue berbagan beras atau ketan lainnya seperti pipang, baje' dan sikaporo.  kita bisa menemukan kue-kue berbahan mulia tersebut di momen mulia, seperti pesta perkawinan.

Cicero dan Ronggowarsito

Sedadar ilustrasi, korupsi menjadi salah satu sandungan yang membawa kehancuran Kekaisaran Romawi.  Negarawan dan orator ulung Marcus Tullius Cicero sampai kehilangan kata-kata mengecam para koruptor.  Kecaman keras terhadap para pelaku korupsi ternyata tidak efektif sehingga membuat Cicero yang sangat frustrasi akhirnya berpaling mengecam waktu dan tabiat.  Sangat terkenal jeritan frustrasi Cicero:  O Tempora, O Mores! (oh waktu, oh tabiat!).

Hampir senada, keluhan pujangga Rangga Warsita:  Zaman Edan!~ Bukan manusia yang dinilai edan, melainkan zaman mengalami kegilaan.

Namun, sejelek-jeleknya keadaan, peluang Indonesia menjadi bangsa kuat, maju, dan berpengaruh sangat terbuka lebar.  Bangksa Indonesia mempunyai basis kemapuan kuat untuk bergerak maju yang ditopang sisa-sisa sumber daya alam dan pasar domestik besar yang didukung 240 juta penduduk.

Kamis, 17 Oktober 2013

Hati-hatilah dengan sumpah mu

Istana Negara, pusat pemerintahan baik sejak era kolonial Belanda hingga saat ini.  Banyak peristiwa penting terjadi di  gedung yang berarsitektur gaya Yunani kuno dan telah berusia 217 tahun itu.

Buku Istana Kepresidenan Republik Indonesia (2004) menuliskan, Istana Negara menjadi pusat pemerintahan penjajahan kolonial Belanda.  Di tempat itu, Gubernur Jenderal Baron Van  der Capellen menerima paparan strategi Jenderal De Kock dalam menghadapi Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol. 

Di Istana Negara pula Gubernur Jenderal Johannes Van de Bosch merumuskan dan menetapkan sistem tanam paksa.   Pada 25 Maret 1947, Istana Negara menjadi tempat penandatanganan persetujuan Linggarjati.

Pada era kemerdekaan, Istana Negara jadi salah satu pusat pemerintahan dan penyelenggaraan kegiatan resmpi kenegaraan.  Rapat kerja nasionla, jamuan kenegaraan, dan pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara banyak dilakukan disana.  Sejak Indonesia merdeka, mungkin tak kurang dari 1.000 pejabat yang dilantik atau mengucapkan sumpah jabatan di sana, mulai dari pimpinan lembaga negara, menteri, wakil menteri, hingga badan atau lembaga setingkat mnteri.

Satu hal menarik dalam pelantikan atau pengucapan sumpah/ janji jabatan itu adalah substansi dari sumpah/jabatan itu sendiri.  Simak naskah sumpah/ janji jabatan yang biasa diucapkan berikut ini.

Demi Allah saya bersumpah/ berjanji, baha saya, untuk diangkat pada jabatan ini, langsung ataupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak memberikan atau menjanjikan, ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga.

Bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dalam jabatan ini, tiada sekali-kali menerima dari siapapun juga, langsung ataupun tidak langsung, suatu janji atau pemberian.

Bahwa saya setia kepada UUD 1945, dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara republik indonesia. 

Bahwa saya akan setia pada nusa dan bangsa, dan akan memenuhi segala kewajiba yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan ini.

Bahwa saya akan menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada bangsa dan negara.

Jika diringkas, isi sumpah jabatan itu terdiri dari lima hal, yakni tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun, tak menerima jnji atau pemberian dari ssiapap pun, stetia pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, setia pada nusa dan bangsa, serta menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab.

Dari situ terlihat, ikrar untuk tidak korup atau menyalahgunakan jabatan ditempatkan di poin pertama dan kedua.  Setelah itu baru komitmen untuk setia pada konstitusi dan bangsa dan terakhir menyangkut pelaksanaan tugas.  Jika sumpah jabatan itu dihayati dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh, logikannya tak  ada pejabat di negeri ini yang korupsi atau menyalahgunakan jabatan.    Namun, realitanya, masih ada pejabat yang dulu emngucapkan sumpah/janji itu di Istana Negara yang justru terjerat kasus korupsi.

tak heran jika mereka yang dulu bersumpah suci itu, setelah tersangkut perkara korupsi akan menuai sumpah serapah dari rakyat.  jadi, hati-hatilah menjaga sumpah yang pernah diucapkan

Rabu, 16 Oktober 2013

Douglas McArthur

Jenderal di era perang pasifik ini kekuasaannya pernah singgah di Indonesia .... simak kisahnya ...

Jenderal Douglas MacArthur,  Jenderal di Era Perang Pasifik penulis puisi pada tahun 1952, yang naskah aslinya berseliweran di jagad blog dan memang sangat menyentuh.  Puisi tersebut berjudul A Father Prayer dengan naskah aselinya tertulis:
  
Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory. 

Build me a son whose wishbone will not be where his backbone should be; a son who will know Thee ?and that to know himself is the foundation stone of knowledge.

Lead him I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.

Build me a son whose heart will be clear, whose goal will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will learn to laugh, yet never forget how to weep; one who will reach into the future, yet never forget the past.

And after all these things are his, add, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of true greatness, the open mind of true wisdom, the meekness of true strength. 

Then, I, his father, will dare to whisper, have not lived in vain.

....

Douglas MacArthur, jenderal asal As yang menguasai Morotai dalam Perang Dunia II.  Penguasaan atas morotai dianggap penting segbagai persiapan merebut kembali filipina dari tangan Jepang. 

Anda juga dapat bersafari menikmati peninggalan sekutu pimpinan Douglas MacArthur, Jenderal asal AS yang menguasai Morotai dalam Perang Dunia II.  Penguasaan atas Morotai dianggap penting sebagai persiapan merebut kembali Filipina dari tangan Jepang.

Terdapat sebuah museum mini yang menyimpan memori kekejaman perang.  Pemiliknya adalah Muhlis Eso.  selama puluhan tahun, ia mengumpulkan benda milik tentara sekutu dan Jepang, dua pihak yang terlibat dalam Perang Dunia II.

Museum mini tersebut berada di sebelah rumah muhlis, di tengah kampung di Daruba, Morotai, dengan akses masuk jalan tanah yang becek saat hujan.  Di ruangan itu ada sejumlah rantang makanan dan botol minuman tentara Amerika serikat (AS), juga koin, piring, sendok, tanda pangkat militer, sarung tangan, obat antinyamuk, minyak wangi, sampai sepeda tentara sekutu.

Menempel di dinding bambu yang lapuk, ada foto hitam putih pesawat tempur, tank dan wajah kuyu orang orang berseragam tentara.  Satu rak kayu menampung kalung-kalung dengan bandul logam warna perak (dogtag) dan helm tentara sekutu.

Di lantai ruangan itu berserak berbagia jenis  senjata yang sedah berkarat.  Ada mortar, granat, pisto, ta senapan mesin, bekas selongsong roket dan peluru sejumlah kaliber.  benda-benda itu buatan negara sekutu, yakni As, Perancis, dan Australia.

Ironisnya, meski apa yang dia lakukan itu bermanfaat bagi kepentinga nasional, relatif tak ada penghargaan bagi Muhlis.  adahal, benda-benda bersejarah itu berpotensi dikembangkan menjadi wasata sejarah, juga pendidikan.

Setidaknya, sebgain keluarga tentara yang terlibat dalam Perang Dunia II di Morotai suka berjunjung ke tempat ini.  Muhlis berharap ada pihak yang mau membantunya membangun museum yang layak dan bisa dimanfaatkan banyak orang.  

Ia juga ikut menjadga dua tank amfibi milik sekutu, satu diantaranya ada di kebun kelapa milik warga. Ia tak tergoda menjual barang-barangnya itu meski sebgian warga menjual berbagai macam benda peninggalan tesebut untuk dijadikan perhiasan besi putih. 

meski berjasa, Muhlis merasa diabaikan.  "dalam acara Sail Morotai beerapa waktu lalu, saya tidak boleh ke tempat acara Presiden SBY, Padahal, benda-beda bersejrah yang diperlihatkan kepada Presiden itu milik saya,"  ceritanya. 

Meski kecewa, Muhlis tak berkecil hati.  Tekadnya justru semakin bulat, suatu saat ia bisa membangun museum yang lebih baik.  Muhis juga yakin masih banyak orang yang peduli pada pelestarian benda bersejarah.  ia tak terlalu eberharap bantuan dari pemerintah.  

"Cepat atau lambat, saya akan membangun museum yang layak dengan dukungan bagai pihak yang mendambakan kelestarian sejarah Morotai," katanya.

Jumat, 11 Oktober 2013

Non Vestimentum

Sebuah pepatah Latin menyatakan, non vestimentum  virun ornat, sed vir vestimentum, bukan pakaian yang membuat seseorang itu memiliki keutamaan, melainkan watak orang yang membuatnya pantas.  Pepatah itu kerap memungkasi diskusi fashon, soal busana.  Apalagi, pendapat konservatif memandang pakaian sebagai kulit sosial dan kebudayaan.  pakaian juga dinilai sebagai ekspresi dari identitas seseorang.  namun juga ada perkara pantas atau tidak terkait sehelai pakaian yang melekat di tubuh seseorang.

Baju batik saat memimpin rapat, jujru saja lebih terasa pantas .. misalnya.

Bukan pelanggararan apalagi kejahatan jika sesekali kita mengambil risiko berpakaian "berbeda dengan yang lain", tetapi bagaimana dengan kepantasan?

Kamis, 10 Oktober 2013

Korupsi yang Mengakar

Dalam sejarah Indonesia, suap aataupun upeti telah mengakar.  Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe, menulis pengalaman Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai timur Jawa.  Dalam pengalaman yang ditulisnya, 15 April 1805, Engelhard mengungkapkan dirinya menjadi kaya karena sogokan orang pribumi yang meninginkan jabatan.

Contoh Engelhard tidak dimaksudkan agar kita menerima kenyataan kian merajalelanya korupsi.  Contoh itu justru mendorong kita mencari solusi holistik memerangi korupsi.  Solusi holistik melalui jalur pendidikan, kebudayaan, serta jalur rumah dan keluarga perlu dipikirkan secara bersama, selain hukum dan sanksi sosial.

Seperti ditulis pepatah china, "segala kebaikan dan keburukan berawal dari rumah".  Nilai-nilai moral untuk hidup jujur, tidak korupsi, perlu terus ditekankan untuk menghadirkan generasi baru Indonesia yang antikorupsi.

Solusi holistik itu membutuhkan kepemimpinan efektif yang bisa dijadikan contoh.