Rabu, 10 September 2014

Power Tends To Corrupt? tidak selalu ....

Hasrat untuk menyalahgunakan kekuasaan, termasuk korupsi, tak identik dengan jabatan.  Sejarawan Inggris, Lord Acton, pada abad ke-19 pernah menyebut, "Power tends to currupt.  Absolute power corrupts absolutely"  (kekuasaan cenderung korup, kekuasan mutlak pasti korup).  Namun, riset psikologi membuktikan, kondisi itu hanya berlaku bagi pemegang kuasa yang mementingkan ego pribadi.

Asisten Profesor Psikologi di Universitas Illinois, Urbana-champaign, Amerika Serikat, Michael W Kraus dalam Three Myths About Power, Power Corrupts? Not Always di psychologytoday.com, 23 Oktober 2011 menilai pernyataan Acton itu hanya mitos.

Mengutip riset Serena Chen yang dipublikasikan di Journal of Personality and Social Psychology, 2001, tentang hubungan antara kuasa dan tanggung jawab sosial, Michael menulis individu pemegang kuasa yang mementingkan egonya tak akan membantu rekannya meski telah ditugasi membantu.  Sebaliknya, mereka yang melepaskan egonya atas kekuasaan, tetap membantu temannya.

Itu berarti, kekuasaan tak selalu mendorong orang untuk menyalahgunakan kuasanya, bergantung pada motif dan ego setiap individu.

Meski demikian, pernyataan Acton itu ada benarnya.  Penelitian psikolog Philip G Zimbardo tentang Stanford Prison |Esperiment, 1971, menunjukknan, seseorang yang diberi kekuasaan cenderung menyalahgunakan kusanya.  Kondisi itu sesuai dengan pernyataan presiden ke-16 Amerika Serikat, Abraham Lincoln (1861-1865), bahwa "Hampir semua orang bisa tahan terhadap kesengsaraan.  Namun, jika kamu ngin menguji karakter sseorang, berilah dia kekuasaan."

Kepala Pusat Studi Otak dan Perilau Sosial Universitas Sam rRatulangi (Unsrat), Manado, yang juga dosen neuroanatomi Fakultas Kedokteran Unsrat, Taufiq Pasiak, mengatakan, banyknya penyelenggara negara menyalahgunakan kekuasaan menunjukkan lemahnya sistem kendali diri di otak mereka.

Sistem Kendali diri dibentuk sistem pengimbalnan (reward) yang memotivasi melakukan sesuatu dan hilangnya sistem kasih (lose affection) yang membuat seseorang tak mau rugi.  ketika muncul peluang, telebih saat ada tekanan, mereka ynag tak punya sistem kendali diri memadai mudah terjatuh dalam penyelewengan kekuasaan.

Sialnya, keserakahan dan penimbunan sumber daya itu disuburkan oleh lingkungan.  Mulai dari pimpinan, anak buah, orantua, hingga tokoh agama atau penasihat spiritual penyelenggara negara pun menimbun sumber daya hingga terjadi penimbunan kolegial.

Berkatalah Yang Baik, wahai manusia!!!!

Kata-kata yang baik menghasilkan perbuatan baik.  Kalau kata-kata baik hasil perbuatan tidak baik, jelas pendusta.  Itulah sebabnya, nenek moyang kita abad ke-19 bahkan awal abad ke-20 meyatakan peribahsa:  mulut kamu harimau kamu.  Atau di kalangan kraton berkembang ungkapan:  sabdo pendito ratu, ucapan raja yang pendeta.  Begitu kata-kata terlepas dari mulutnya, ia mengandung janji yang harus ditepati dengan perubatannya..

Kata-kata tidak mengubah apa-apa tanpa diikuti oleh perbuatan nyata.  Perbuatan, tingkah laku, dan teladan yang kasatmata itulah yang dapat mengubah manusia.  Justru manusia dapat belajar banyak dari perbuatan-perbautan para pemimpinnya.  Mana pemimpin yang cuma pandai ngomong, tetapi tidak terjadi dalam pebuatan nyata, dan mana pemimpin yang omongannya selalu ditepati dengan tindakan.  Pemipin yang konsisten antara kata dan perbuatannya atau janji-janjinya dibuktikan secara nyata dalam perbuatan akan mendapat kepercayaan, yakni kata dan perbuatan baiknya.

Seseorang disebut baik karena berbuat baik, seseorang disebut jahat karena berbuat jahat.  Perbuatanlah yang mengubah manusia dan dunia, bukan kata-kata.
Meski demikian, perlu diingat bahwa perbuatan adalah manifestasi dan aktualisasi dari kata-kata, pikiran, dan keinginan yang mendasarinya.  Perbuatan baik terjadi karena keinginan biaknya atau maksud baiknya.  Keinginan atau maksud baik menjadi kenyataan perbuatan baik kalau didasari pemikirannya yang benar..  Dengan demikian, setiap perbuatan segera akan diketahui kandungan keinginan dan pikirannya, baik atau jahat.

BAgi nenek moyang Indonesia, dua atau tiga generasi yang lalu, laku atau perbuatanlah yang  mengubah manusia dan dunia tempat dia berada.  Dirinya menjadi baik dan dunia sekitarnya menjadi baik kalau dia berbuat baik.  Dirinya menjadi jahat dan dunia sekitarnya kena dampak kejahatannya kalau dia berbuat jahat, dalam arti maksudnya jahat, cara berpikirnya tidak benar meskipun seolah-olah perbuatannya tampak baik.

Mangkunagara IV menaytakan:  Ilmu iku kelakone kanthi laku.  Ilmu pengetahuan itu timbul dari perbuatan, artinyapengetahuan dan pikiran itu tidak banyak gunanya kalau tidak dapat dipraktikkan dalam kehidupan.  Dari perbautannya, kita mengenali ilmunya.  Namun, memang pikiran semacam itu muncul dari dunia mistisisme yang dalam abad ke-19 masih kuat menggejala di Indonesia.  Namun, pesannya cukup relevan untuk manusia modern Indoensia, yakni bahwa manusia jangan gampang menbumbar kata-kata.  Setiap kata punya konsekuensi dengan perbuatannya.  kalau tidak akan sanggup melakukannya, lebih baik berdia diri saja, jangan mengumbar kata-kata tanpa bobot perbuatan nyata.